ABSTRAK
Salah satu kelemahan teknologi pascapanen jagung adalah masalah penyimpanan. Umumnya jagung akan mengalami kerusakan yang serius bila dilakukan penyimpanan secara tradisional dalam jangka waktu yang lama. Penyimpanan secara curah dengan aerasi merupakan salah satu teknologi alternatif yang dapat diaplikasikan untuk menjaga kualitas hasil-hasil pertanian selama dalam penyimpanan. Namun demikian, prosedur perancangan dan operasional sistem penyimpanan beraerasi ini masih belum berkembang. Penelitian ini mempunyai tiga tujuan pokok yaitu : melakukan perancangan sistem aerasi untuk keperluan penyimpanan jagung secara curah, serta untuk mengkaji pengaruh metode aerasi terhadap kualitas jagung selama proses penyimpanan.
Pada penelitian ini digunakan dua buah silo dibuat dari bahan pelat metal masing-
masing dengan kapasitas 530 kg jagung pipil. Kedua buah silo tersebut dilengkapi dengan
sistem aerasi yang berbeda. Satu buah silo diaerasi dengan menggunakan udara dingin
sedangkan silo yang lainnya diaerasi menggunakan udara lingkungan yang dikombinasikan
dengan bentonite sebagai absorben. Sebagai kontrol digunakan penyimpanan secara
konvensional dengan karung. Beberapa parameter yang terkait dengan kondisi udara ruang
simpan, operasional sistem aerasi, serta kualitas biji jagung hasil penyimpanan diukur dan
dimonitor secara periodik selama penyimpanan untuk mengevaluasi efektivitas sistem aerasi
yang dirancang. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal penting sebagai
berikut : hanya metode aerasi udara dingin yang mampu menciptakan kondisi temperatur dan
kelembaban ruang simpan yang memenuhi syarat untuk penyimpanan jagung dengan kadar air
13% w.b. Untuk menciptakan kondisi udara ruang simpan tersebut, aerasi udara dingin tidak
perlu dilakukan terus-menerus sepanjang hari selama penyimpanan, aerasi cukup dioperasikan
selama 5 jam/hari dengan konsumsi daya 0,519 kWh/hari/ton. Kualitas biji jagung hasil
penyimpanan seperti kadar air, prosentase kehilangan berat karena infestasi serangga dan jamur,
prosentase perkecambahan, maupun cemaran aflatoksin pada jagung dengan aerasi udara dingin
menunjukkan hasil yang lebih baik daripada aerasi dengan absorben bentonit dan penyimpanan
dalam gudang. Perancangan, konstruksi, serta operasional peralatan aerasi udara dingin ini
mudah dibuat, murah, dan bahan-bahan tersedia di pasaran.
Kata kunci: penyimpanan, perancangan, jagung, aerasi, silo
1 Disampaikan dalam Gelar Teknologi dan Seminar Nasional Teknik Pertanian 2008 di Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Yogyakarta 18-19 November 2008
2 Staf Pengajar Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 1
A. PENDAHULUAN
Berbagai macam kendala banyak ditemukan dalam usaha peningkatan kuantitas dan kualitas komoditas jagung di Indonesia. Salah satu kendala dari rantai produksi dalam usaha tani jagung di Indonesia adalah pada masalah penyimpanan jangka panjang. Biji jagung sering mengalami kehilangan baik kualitas maupun kuantitas yang berlebihan setelah mengalami penyimpanan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Di Indonesia kehilangan hasil akibat serangan hama gudang saja diperkirakan mencapai 26 - 29% (Semple 1985 dalam Surtikanti, 2004). Tingginya kehilangan ini mungkin disebabkan karena metode penyimpanan dan caracara penanganan bijian selama penyimpanan belum dilakukan dengan benar. Demikian juga, belum ada cara-cara penyimpanan jagung yang benar-benar aman yang direkomendasikan di Indonesia hingga saat ini, hal ini semakin mempersulit bagi para praktisi yang menangani jagung untuk melakukan praktek penyimpanan dengan baik.
Menurut Brooker et al. (1992), rahasia untuk menjaga bijian yang disimpan dalam
kondisi yang baik adalah dengan menjaga massa bijian tetap dingin dan merata serta kering.
Pada sebagian besar tempat di dunia, hal ini dapat dilakukan lewat aerasi, yaitu perlakuan
terhadap bijian yang disimpan dengan udara lingkungan yang dingin pada laju aliran yang
rendah. Apabila temperatur lingkungan rata-rata berada diatas 24-37oC, suatu alat pendingin
bijian perlu untuk digunakan. Driscoll dan Srzednicki (1998), menegaskan bahwa pada
kondisi tropis basah, akan membutuhkan suatu alat pendingin untuk melakukan aerasi dingin
seperti yang dapat dilakukan untuk kondisi daerah beriklim sedang. Lebih lanjut
dikemukakan, bahwa aerasi biji-bijian merupakan cara yang sangat bermanfaat dalam
preservasi biji-bijian. Cara ini juga merupakan cara mekanis yang bebas bahan kimiawi dan
bila dilakukan dibawah manajemen yang sehat, ini merupakan salah satu cara yang paling
murah dalam menjaga kualitas biji-bijian. Ditekankan juga, bahwa salah satu kondisi yang
paling esensial untuk penerapan aerasi adalah penggunaan cara penanganan biji-bijian secara
curah (bulk handling).
Melihat besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari aerasi ini, maka akan menjadi
sangat penting untuk mengkaji penggunaannya untuk mengatasi permasalahan penurunan
kualitas biji jagung dalam penyimpanan jangka panjang di Indonesia. Namun demikian,
masih banyak kesulitan-kesulitan yang ditemukan bagi para praktisi untuk dapat menerapkan
sistem aerasi ini. Khatchatourian and De Oliveira (2006) mengemukakan, bahwa aerasi
banyak digunakan untuk pendinginan dan penyeragaman temperatur pada seluruh massa
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 2
bijian curah, menghilangkan pemanasan pada bijian basah, memasukkan gas-gas fumigant,
dan menghilangkan bau serta residu fumigant. Namun demikian, prosedur perancangan dan
operasional sistem penyimpanan yang dilengkapi dengan fasilitas aerasi ini masih
menghadapi banyak kesulitan-kesulitan bagi para praktisi yang ingin menggunakannya.
Sedangkan Darby (1998a), mengemukakan keterbatasan-keterbatasan secara lebih detail
terkait dengan penerapan dan perancangan sistem aerasi di Australia yang salah satunya
dikemukakan, bahwa beberapa hal mengenai informasi teknis sangat tidak memadai dan
memberikan kesulitan untuk dapat merancang sesuai dengan performa yang dispesifikasikan,
serta pendekatan-pendekatan yang mudah bagi pengguna untuk berbagai hal pokok dalam
perancangan masih kurang tersedia. Mempertimbangkan semua permasalahan di atas, perlu
untuk diteliti penerapan metode penyimpanan curah yang dilengkapi dengan suatu sistem
aerasi mekanis untuk mendapatkan informasi awal dalam menjajaki kemungkinan penerapan
sistem aerasi untuk mempertahankan kualitas biji-bijian selama penyimpanan. Adapun tujuan
penelitian ini adalah 1. melakukan perancangan awal sistem aerasi untuk keperluan
penyimpanan jagung secara curah, dan 2. mengkaji pengaruh metode aerasi terhadap kualitas biji jagung selama penyimpanan.
B. BAHAN DAN METODE
1. Bahan Penelitian
Sebagai bahan utama adalah biji-bijian jagung pipil dengan kondisi sebagai
berikut : kadar air awal jagung 11,32% (w.b); berat satuan curah 783,15 kg/m3, berat
satuan partikel 1,196 kg/m3, prosentase butir pecah 1,36%, berat seribu butir 287,2 gram,
prosentase kehilangan berat terserang serangga 0,145%, prosentase kehilangan berat
terserang jamur 1,023%; derajad perkecambahan 88,2%; dan cemaran aflatoksin awal 68,86 ppb. Secara visual kondisi jagung yang digunakan adalah baik seperti jagung di pasaran pada umumnya dengan total berat jagung yang dibutuhkan adalah 1,5 ton. Jagung ini dibeli dari petani dari Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada Bulan Agustus 2007.
2. Peralatan Penelitian
Gambar 1 menunjukkan bagan skematis peralatan yang digunakan dalam
penelitian. Silo dibuat dari bahan pelat metal dengan kapasitas 530 kg jagung pipil,
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 3
berbentuk berdiameter 0,75 m, tinggi sililinder 1,75 m, kemiringan hopper tehadap
bidang vertikal 45o. Untuk memasukkan biji jagung kedalam silo digunakan peralatan pneumatic grain conveyor. Dalam penelitian ini dibuat dua buah silo dengan ukuran yang sama, satu buah silo diaerasi dengan udara dingin, sedangkan silo yang lain diaerasi dengan udara lingkungan yang dikombinasikan dengan suatu absorben berupa pencahanpecahan batuan bentonit. Sedangkan sebagai pembanding, dilakukan penyimpanan secara konvensional dengan menggunakan karung didalam gudang.
Untuk keperluan pengukuran temperatur dan kelembaban udara dalam massa bijian serta pengambilan sampel biji jagung dari dalam silo, maka dibuat empat buah lubang disepanjang tinggi silinder silo, dengan diameter 5 cm. Untuk mempermudah dalam penyebutannya, maka keempat lubang tersebur dari atas ke bawah masing masing disebut sebagai lubang ruang udara (ruang udara di atas massa biji jagung dalam silo), lubang atas, lubang tengah, dan lubang bawah. Pada tian-tiap lubang pengukuran temperatur dan kelembaban maupun pengambilan sampel bijian dilakukan pada tiga posisi radial yang berbeda. Masing-masing posisi radial tersebut adalah pusat (posisi radial dekat dengan pipa aerator), antara (posisi radial pada titik tengah antara pusat dan tepi), dan tepi (posisi radial dekat dengan didnding silo). Pengambilan sampel biji jagung dari dalam silo dilakukan lewat lubang atas, tengah dan bawah dengan menggunakan sampel probe yang didesain khusus sehingga sampel dari ketiga posisi radial tersebut tidak tercampur pada waktu pengambilan berlangsung.
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 4
0,75
1
3
2
45o
4
5
1,2
6
7
1,5
Gambar 1. Bagan skematis peralatan penelitian silo dengan aerasi udara dingin
1. Bangunan silo, 2. Saluran distribusi udara dalam bijian (aerator), 3. Tempat pengukuran dan pengambilan sampel, 4. Pipa-pipa penyalur udara, 5. Blower, 6. Kotak evaporator, 7. Condensor unit (refrigerator).
3. Metode Penelitian
Penyimpanan dilaksanakan selama 2 bulan, dan berbagai macam parameter yang
terkait dengan efektivitas operasional sistem aerasi seperti temperatur dan kelembaban
udara pada massa bijian akan diamati dalam penelitian ini. Demikian juga parameter
kualitas biji jagung yang disimpan seperti kadar air biji jagung, tingkat kehilangan karena
serangan serangga dan jamur, perkecambahan, serta tingkat cemaran aflatoksin diamati
secara periodik selama penyimpanan. Pengujian kualitas jagung dilakukan dengan
pengambilan sampel jagung dari dalam silo dengan menggunakan sample probe lewat
lobang-lobang sampel yang telah dibuat pada dinding silo. Temperatur dan kelembaban
udara aerasi diukur dengan menggunakan thermohygrometer digital. Kadar air bijian
ditentukan dengan metode gravimetri, jumlah biji jagung yang terserang serangga dan
jamur akan dihitung secara manual dari sampel yang diambil dari massa bijian, sedangkan
kandungan aflatoksin pada bijian akan ditentukan secara kimiawi dengan metode ELISA.
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 5
Untuk mengetahui besar konsumsi daya listrik selama proses aerasi diukur dengan menggunakan wattmeter.
4. Opertasional sistem aerasi
Pada penelitian ini dipilih laju aliran udara aerasi maksimum yang direkomendasikan
oleh Croissant (2006) dari Colorado State University, sebesar 1 ft3/menit/bushel. Nilai ini
termasuk dalam kategori aerasi pengeringan (aeration drying, laju aliran udara 2,5 - 20
lt/dt/ton ) pada pembagian metode aerasi bijian yang diberikan oleh Darby (1998b). Untuk
berat bijian yang disimpan (530 kg), maka nilai ini akan menghasilkan laju aliran udara
0,0091 m3/dt. Sedangkan lama waktu aerasi ditentukan selama 5 jam/hari, mulai jam 12.00
sampai dengan jam 17.00. Penjemuran bentonit untuk meningkatkan kemampuan
penyerapan airnya, dilakukan mulai pagi (jam 8.00) sampai dengan siang (jam 12.00). Berdasarkan prinsip-prinsip penyimpanan yang aman ditentukan kadar air jagung yang disimpan maksimum 13% (w.b). Agar pengendalian temperatur tidak memerlukan biaya yang terlalu mahal, diambil temperatur udara ruang untuk daerah tropis sehingga dipilih temperatur penyimpanan maksimum 28oC. Berdasarkan persamaan Chung-Pfost diperoleh kelembaban kesetimbangan untuk kondisi tersebut maksimum 59,8% (atau 60%). Dalam pelaksanaan aerasinya peralatan refrigerator dihidupkan selama satu jam sebelum proses aerasi ke dalam biji jagung dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kondisi udara aerasi yang dapat memenuhi keperluan yang dikehendaki, dimana temperatur berada dibawah 28oC dengan kelembaban yang lebih rendah dari 60%.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Temperatur ruang simpan
Perbandingan perubahan profil temperatur antara ketiga cara penyimpanan yaitu
penyimpanan dengan aerasi udara dingin, aerasi absorben bentonit, dan gudang selama
proses aerasi berlangsung dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. Gambar ini secara jelas
menunjukkan, bahwa silo dengan aerasi udara dingin selalu mempunyai temperatur massa
bijian yang lebih rendah dari pada silo aerasi bentonit maupun gudang, serta jauh dibawah
temperatur udara lingkungan. Sedangkan pada silo dengan aerasi absorben bentonit,
meskipun rata-rata dibawah 28oC, namun pada saat-saat tertentu berada diatas nilai
tersebut. Kondisi ini membuktikan, bahwa untuk mencapai temperatur target yaitu
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 6
maksimum 28oC seperti yang direncanakan, diperlukan suatu peralatan pendingin untuk operasional aerasi. Penggunaan refrigerator terbukti cukup mampu memenuhi persyaratan temperatur penyimpanan curah aman yang ditetapkan yaitu maksimum 28oC, sehingga tidak perlu menggunakan grain chilller secara khusus yang harganya relatif mahal. Temperatur udara selama proses aerasi pada silo refrigerasi terletak antara 22,13oC -
26,23oC, pada silo dengan absorben bentonit 26,64oC - 27,59oC, serta pada massa bijian dalam gudang antara 26,07oC - 26,47oC. Hasil analisis stastistik menunjukkan bahwa temperatur udara dari ketiga cara penyimpanan berbeda secara signifikan, dan temperatur pada silo dengan aerasi baik dengan udara dingin maupun dengan absorben bentonit berbeda secara nyata dengan temperatur bijian dalam karung.
40 40
35 35
30 30
25 25
20 20
Raung Udara Atas
15 15
10 10
0 1 2 3 4 5 0 1 2 3 4 5
Waktu aerasi (Jam)
Waktu aerasi (Jam)
Refrigerasi Bentonit Gudang Lingkungan Refrigerasi Bentonit Gudang Lingkungan
40 40
35 35
30 30
25 25
20 20
Tengah Bawah
15 15
10
10 0 1 2 3 4 5
0 1 2 3 4 5 Waktu aerasi (Jam)
Waktu aerasi (Jam)
Refrigerasi Bentonit Gudang Lingkungan Refrigerasi Bentonit Gudang Lingkungan
Gambar 2. Perbadingan perubahan temperatur udara ruang simpan pada silo dengan aerasi
udara dingin, silo aerasi bentonit, gudang, dan lingkungan
Gambar 3 menunjukkan profil perubahan temperatur massa biji jagung selama 24
jam. Dari gambar ini dapat diketahui bahwa temperatur bijian dalam silo dengan aerasi
udara dingin secara konsisten selalu berada dibawah 28oC, sedangkan silo dengan aerasi
absorben bentonit kisaran temperaturnya sering berada diatas 28oC. Untuk gudang
temperaturnya juga selalu berada dibawah 28oC namun masih berada diatas temperatur silo dengan aerasi udara dingin, demikian pula perlu dipertimbangkan lebih jauh apakah kelembabannya dapat memenuhi syarat atau tidak.
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 7
30
28
26
24
22
20
Refrigerasi
Aerasi
Malam
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Jam ke
Tepi Antara Pusat
30
28
26
Gudang
24
22
20
0 2 4 6 8 10 12 14
Jam ke
Temp. bijian
32
Bentonit
30
28
26
24
22
20
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Jam ke
Tepi Antara Pusat
16 18 20 22 24
Temp Ruang
Gambar 3. Contoh perubahan temperatur massa bijian jagung selama 24 jam untuk silo
refrigerasi, silo serasi bentonit, dan gudang
2. Kelembaban ruang simpan
Perubahan kelembaban relatif udara didalam silo selama proses aerasi berlangsung
dapat dilihat pada Gambar 4. Dapat dilihat pada gambar tersebut, bahwa selama lima jam
aerasi berlangsung hanya silo dengan aerasi udara dingin yang mengalami penurunan
kelembaban relatif secara konsisten. Kelembaban udara didalam silo turun dari sekitar 60%
menjadi antara 40% - 50%, kondisi ini membuktikan bahwa refrigerator cukup mampu untuk
digunakan sebagai dehumidifier guna menurunkan kelembaban relatif udara untuk keperluan
penyimpanan curah beraerasi di daerah tropis dengan syarat kelembaban relatif maksimum
60%, sehingga tidak perlu digunakan suatu grain chiller khusus yang harganya relatif mahal.
Sedangkan pada silo dengan aerasi absorbent bentonit tidak terjadi penurunan
kelembaban udara ruang silo, bahkan ada kecenderungan nilai kelembabannya lebih tinggi
dari pada kelembaban udara lingkungan. Kondisi ini menunjukkan bahwa aerasi dengan
absorbent bentonit tidak cukup mampu untuk menurunkan kelembaban udara dalam silo,
sehingga tidak sesuai untuk diaplikasikan di daerah tropis. Kenyataan ini sekaligus
menunjukkan perlunya digunakan refrigerator atau dehumidifier untuk keperluan aerasi
didaerah tropis untuk mencapai kelembaban relatif rancangan yang dikehendaki.
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 8
70
60
50
40
30
20
10
0
0
70
60
50
40
30
20
10
0
0
Ruang Udara
1 2 3 4 5
Waktu Aerasi (Jam)
Refrigerasi Bentonit
Gudang Lingkungan
Tengah
1 2 3 4 5
Waktu Aerasi (Jam)
Refrigerasi Bentonit
Gudang Lingkungan
70
60
50
40
30
Atas
20
10
0
0 1 2 3 4 5
Waktu Aerasi (Jam)
Refrigerasi Bentonit
Gudang Lingkungan
70
60
50
40
30 Bawah
20
10
0
0 1 2 3 4 5
Waktu Aerasi (Jam)
Refrigerasi Bentonit
Gudang Lingkungan
Gambar 4. Perbadingan perubahan kelembaban udara ruang simpan pada silo dengan aerasi
udara dingin, silo aerasi bentonit, gudang, dan lingkungan
Seperti temperatur massa bijian, setelah aerasi dilakukan kelembaban massa bijian
akan berfluktuasi dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sekitar. Selama 24 jam pengamatan
diketahui pada silo udara dingin kelembaban relatif tercatat selalu lebih rendah dari nilai
maksimum yang ditargetkan (59,8%). Sedangkan pada silo dengan absorben bentonit masih
ada beberapa jam dimana kelembabannya berada diatas 59,8% bahkan untuk gudang
kelembaban relatifnya selalu berada diatas 65% atau diatas nilai maksimum kelembaban
aman yang direncanakan (Gambar 5). Oleh karena itu, dari persyaratan nilai kelembaban
massa bijian dapat disimpulkan, bahwa silo aerasi udara dingin memenuhi syarat, sedangkan
silo dengan absorben bentonit dan gudang tidak memenuhi syarat untuk melakukan
penyimpanan biji jagung pada kadar air 13% w.b. Dari sini dapat diketahui hanya silo
dengan aerasi udara dingin yang mampu menciptakan kondisi temperatur dan kelembaban
ruang yang dapat memenuhi persyaratan aman untuk penyimpanan jagung pada ka 13% w.b.
Analisis statistik menunjukkan bahwa kelembaban relatif selama proses aerasi berlangsung
untuk silo dengan aerasi berbeda nyata dengan kelembaban udara dalam gudang.
Kelembaban udara pada silo dengan aerasi udara dingin terletak antara 45,77% - 58,89%,
pada silo dengan aerasi absorben bentonit 42,72% - 61,51%, sedangkan pada gudang antara
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 9
62,86% - 64,26%. Kelembaban relatif rata-rata selama 24 jam pengukuran untuk silo dengan aerasi udara dingin terletak antara 43,53% - 54,44%, untuk silo dengan aerasi absorben bentonit antara 55,41% - 61,59%, sedangkan untuk gudang antara 64,31% -
66,05%. Analisis statistik menunjukkan bahwa kelembaban relatif untuk ketiga cara penyimpanan saling berbeda nyata.
60
50
40
30
Refrigerasi
20
10
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Jam ke
Tepi Antara
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
70
60
50
40
30
20
0 2 4
18 20 22 24
Pusat Tepi
Gudang
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22
Jam ke
RH Bijian RH Ruang
Bentonit
6 8 10 12 14 16 18 20 22 24
Jam ke
Antara Pusat
24
Gambar 5. Contoh perubahan kelembaban massa bijian jagung selama 24 jam untuk silo
refrigerasi, silo serasi bentonit, dan gudang
4. Kadar air bijian jagung
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa kadar air biji jagung yang disimpan baik
kearah vertikal maupun radial tidak betul-betul seragam, namun demikian perbedaannya
tidak terlalu besar. Pada silo dengan aerasi udara dingin kadar air rata-rata selama 10 minggu
penyimpanan adalah 9,940%, sedangkan pada silo dengan aerasi kombinasi udara
lingkungan dan absorbent bentonit 10,61% dan kadar air untuk penyimpanan dalam karung
adalah 12,07%, dimana kadar air awal biji jagung saat penyimpanan adalah 11,32%. Secara
statistik diketahui kadar air dari ketiga cara penyimpanan menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan, analisis perbandingan rata-rata lebih lanjut menunjukkan bahwa kadar air
jagung dari ketiga cara penyimpanan saling berbeda nyata. Pada silo dengan aerasi udara
dingin, terlihat bahwa pada bijian bagian bawah penurunan kadar airnya cukup besar, hal
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 10
ini kemungkinan disamping disebabkan karena tingginya laju aliran udara aerasi, kmungkinan juga disebabkan karena rendahnya kelembaban udara pada massa bijian, dimana selama 24 jam pengukuran menunjukkan kelembaban pada massa biji jagung disini lebih rendah dari 60%. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk menciptakan kelembaban relatif massa bijian yang lebih tinggi lagi serta untuk mengurangi besarnya laju aliran udara aerasi guna menghindari besarnya penurunan kadar air biji jagung selama penyimpanan beraerasi.
15 15
12 12
9 9
ATAS TENGAH
6 6
3 3
Refrigerasi Bentonit Gudang Refrigerasi Bentonit Gudang
0 0
0 2 4 6 8 10 0 2 4 6 8 10
Minggu ke Minggu ke
15
12
9
BAWAH
6
3
Refrigerasi Bentonit Gudang
0
0 2 4 6 8 10
Minggu ke
Gambar 6. Perbandingan perubahan kadar air dari penyimpanan dengan aerasi udara dingin,
aerasi absorbent bentonit, dan gudang
5. Kehilangan berat karena serangan serangga
Tampak dari Gambar 7, bahwa selama sepuluh minggu proses penyimpanan terdapat
kecenderungan kenaikkan prosentase kehilangan berat bijian karena serangga baik pada silo
aerasi udara dingin, aerasi dengan bentonit, maupun penyimpanan dalam gudang. Secara
jelas juga dapat dilihat bahwa laju prosentase kehilangan yang terbesar terjadi pada
penyimpanan dalam gudang, sedangkan pada penyimpanan dengan aerasi baik udara dingin
maupun absorbent bentonit laju kenaikkannya relatif rendah. Berdasarkan nilai rata-rata
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 11
prosentase kehilangan berat karena serangga selama sepuluh minggu penyimpanan diketahui
untuk penyimpanan dengan aerasi udara dingin 0,309%, aerasi dengan bentonit 0,354%, dan
penyimpanan dalam gudang 0,562%. Analisis statistik menunjukkan, bahwa tingkat
serangan serangga antara cara penyimpanan dengan aerasi udara dingin berbeda nyata dengan cara penyimpanan dalam karung, namun tidak berbeda nyata dengan penyimpanan dengan aerasi absorbent bentonit. Kondisi ini menunjukkan, bahwa proses aerasi (terutama aerasi udara dingin) secara nyata mampu menekan prosentase kehilangan berat biji jagung karena serangan serangga. Sekaligus hal ini menunjukkan bukti bahwa penyimpanan curah beraerasi dengan kelembaban maksimum 60% dan temperatur maksimum 28oC cukup aman untuk menghindarkan terjadinya serangan serangga, sebaliknya penyimpanan dengan karung tidak mampu menekan kehilangan berat biji jagung karena serangga.
2 2
ATAS TENGAH
1.5 1.5
1 1
0.5 0.5
0 0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu ke Minggu ke
Refrigerasi Bentonit Gudang Refrigerasi Bentonit Gudang
2
BAWAH
1.5
1
0.5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Minggu ke
Refrigerasi Bentonit Gudang
Gambar 7. Perbandingan perubahan kehilangan berat karena serangan serangga pada
penyimpanan dengan aerasi udara dingin, aerasi absorbent bentonit, dan gudang
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 12
6. Kehilangan berat karena serangan jamur
Gambar 8 menunjukkan prosentase kehilangan berat biji jagung selama
penyimpanan karena infestasi jamur. Tingkat kehilangan berat karena serangan jamur secara
statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara ketiga cara
penyimpanan yang dilakukan. Tidak terlihatnya perbedaan ini kemungkinan disebabkan
karena kadar air jagung yang digunakan cukup rendah yaitu 11,32%, yang secara umum
merupakan kadar air yang cukup aman sekalipun untuk penyimpanan dalam karung tanpa
perlakuan aerasi. Rata-rata prosentase kehilangan berat karena jamur adalan 0,829%,
0,906%, dan 0,941% berturut-turut untuk penyimpanan dengan aerasi udara dingin, aerasi
dengan bentonit, dan penyimpanan dalam gudang. Meskipun secara statistik tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terlihat disini rata-rata prosentase
kehilangan berat karena jamur paling rendah adalah pada penyimpanan dengan aerasi udara
dingin. Hal ini juga dapat dicermati pada grafik, bahwa kurva untuk penyimpanan beraerasi
udara dingin pada beberapa titik terletak paling bawah dibandingkan dengan kurva untuk
aerasi bentonit dan gudang. Kondisi kelembaban dan temperatur yang relatif rendah sebagai
hasil dari proses aerasi dengan udara dingin, mengakibatkan kondisi ruang simpan tidak
sesuai untuk pertumbuhan jamur.
2.0 2.0
ATAS TENGAH
1.5 1.5
1.0 1.0
0.5 0.5
0.0 0.0
0 2 4 6 8 10 0 2 4 6 8 10
Minggu ke Minggu ke
Refrigerasi Bentonit Gudang Refrigerasi Bentonit Gudang
2.0
BAWAH
1.5
1.0
0.5
0.0
0 2 4 6 8 10
Minggu ke
Refrigerasi Bentonit Gudang
Gambar 8. Perbandingan perubahan kehilangan berat karena serangga jamur pada
penyimpanan dengan aerasi udara dingin, aerasi absorbent bentonit, dan gudang
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 13
7. Perubahan derajad perkecambahan
Gambar 9 (A) menunjukkan adanya kecenderungan bahwa penyimpanan dengan silo
beraerasi udara dingin mempunyai prosentase perkecambahan yang lebih tinggi dari pada
silo beraerasi absorbent bentonit maupun gudang. Pada silo dengan aerasi udara dingin, rata-
rata prosentase perkecambahan selama 2 bulan penyimpanan adalah 89,5%, sedangkan pada
aerasi bentonit dan gudang masing-masing 87,1 dan 85,85%. Kondisi ini sekaligus
menunjukkan bahwa penyimpanan dengan aerasi udara dingin tidak mengakibatkan kerusakan atau penurunan derajat perkecambahan biji jagung. Berdasarkan hasil analisis statistik diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap prosentase perkecambahan antara ketiga macam cara penyimpanan yang diteliti.
8. Tingkat cemaran aflatoksin
Salah satu kriteria penerimaan jagung oleh konsumen adalah tingkat cemaran
aflatoksin. Perubahan tingkat cemaran aflatoksin pada jagung selama penyimpanan dapat
dilihat pada Gambar 9 (B). Tingkat cemaran aflatoksin pada penyimpanan dengan silo baik
aerasi refrigerasi maupun bentonit jauh lebih rendah dari pada gudang, serta menunjukkan
kecenderungan yang terus menurun. Sampai dengan minggu ke empat cemaran aflatoksin
pada silo refrigerasi 3,57 ppb, silo bentonit 2,94 ppb, dan gudang 170,06 ppb. Umumnya
batas cemaran aflatoksin maksimum di berbagai negara untuk jagung ditetapkan sebesar
maksimum 20 ppb. Aerasi mempunyai keuntungan dalam menghilangkan spot-spot bijian
lembab dan bijian berjamur, dan juga membantu dalam pengendalian serangga dengan
berbagai cara (Gras et al., 1998).
100
80
60
40 Refrigerasi
Bentonit
20 Gudang
0
0 0.5 1
Bulan Ke
(A)
500
Refrigerasi
400
Bentonit
300
Gudang
200
100
0
0 1 2 3 4 5
1.5 2
Minggu ke
(B)
Gambar 9. Perbandingan perubahan prosentase perkecambahan biji jagung pada penyimpanan
dengan aerasi udara dingin, aerasi absorbent bentonit, dan gudang (A), tingkat
cemaran aflatoksin pada penyimpanan dengan aerasi udara dingin, aerasi absorbent
bentonit, dan gudang (B)
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 14
D. KESIMPULAN
1. Hanya metode aerasi udara dingin yang dapat menciptakan kondisi temperatur dan
kelembaban ruang simpan yang memenuhi syarat untuk penyimpanan jagung dengan
kadar air 13% w.b., yaitu temperatur maksimum 28oC dan kelembaban maksimum 60%
2. Dengan laju aliran yang digunakan, aerasi udara dingin cukup dioperasikan 5 jam/hari
untuk menciptakan kondisi ruang simpan tersebut, dengan konsumsi daya
0,519kWh/hari/ton, sehingga tidak perlu dioperasikan terus menerus selama
penyimpanan.
3. Parameter kualitas bijian seperti kadar air, serangan serangga, serangan jamur, derajat
perkecambahan, maupun cemaran aflatoksin pada jagung dengan aerasi udara dingin
relatif rendah.
4. Perancangan, konstruksi, serta operasional peralatan aerasi udara dingin ini mudah
dibuat, murah, dan bahan-bahan tersedia di pasaran .
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 15
DAFTAR PUSTAKA
Brooker, D.B; Arkema, F.W.B.; dan Hall, C.W. 1992. “Drying and Storage of Grains and
Oilseeds”, AVI Publishing Company, INC. New York.
Croissant, R.L. 2006. “Managing Stored Grain”, Colorado State University Cooperative
Extension-Agriculture. (www.ext.colostate.edu/pubs/CROPS/00117.html)
Darby, J. 1998. “Aeration’s Potential”, (www.sgrl.csiro.au/aptc 2000/darby-01.pdf)
Darby, J. 1998. “Putting Grain Aeration in Order with Generalised Aeration Catagories”,
(www.sgrl.csiro.au/aptc 2000/45-darby.pdf)
Driscoll, R.H. and Srzednicki, G.S. 1998. “Overseas Perspective on Aeration”
(www.sgrl.csiro.au/aptc1998/47-driscoll.pdf)
Gras, P.W.; Kaur, D.A.; Riordan, B.O., Suter, D.A.I.; Thomson, W.K.T. “How and Why to
Keep Grain Quality Constant”. (www.sgrl.csiro.au/aptc2000/gas-etal.pdf)
Katchatourian, O.A and de Oliveira, F.A. 2006. “Mathematical Modelling of Airflow and
Thermal State in Large Aerated Grain Storage”, J. Biosystems Engineering 95 (2) : 159
- 169.
Surtikanti. 2004. “Kumbang Bubuk Sitophilus zeamais Motsch. (coleoptera : Curculinidae)
dan Strategi Pengendaliannya”, Journal Litbang Pertanian 23 (4) : 123-129.
Prosiding Seminar Nasianal Teknik Pertanian 2008 - Yogyakarta, 18-19 November 2008 16
REKAYASA METODE AERASI PADA PENYIMPANAN JAGUNG SECARA CURAH DALAM SILO1
Rabu, 25 April 2012 on
Tidak ada komentar:
Posting Komentar